Pasca Soeharto, Diperlukan Isu Pemersatu

JAKARTA, KOMPAS — Pasca pemerintahan Soeharto, Indonesia membutuhkan isu besar pemersatu bangsa yang bersifat positif. Salah satu persoalan yang bisa menjadi isu dan diperjuangkan bersama adalah kesejahteraan rakyat.

Salah satu  hasil penelitian  Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada saat dipresentasikan di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Rabu (1/6). Penelitian ini dilakukan di 24 provinsi dengan tema besar demokrasi sebagai kontrol rakyat terhadap isu publik.

Salah satu hasil penelitian Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada saat dipresentasikan di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Rabu (1/6). Penelitian ini dilakukan di 24 provinsi dengan tema besar demokrasi sebagai kontrol rakyat terhadap isu publik.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Amalinda Savirani dalam kunjungannya ke Redaksi Kompas, Rabu (1/6), mengatakan, setelah tahun 1945 dan era Soekarto, anti kolonialisme dan imperialisme menjadi isu pemersatu bangsa.

"Pada 1965-1966, ada isu bersama, yakni anti komunisme. Lalu pada zaman Soeharto ada isu pembangunan dan stabilitas," kata Amalinda.

Kemarin, Amalinda bersama dengan Hasrul Hanif dan Willy Purna Samadhi yang semuanya merupakan peneliti Power, Welfare, and Democracy memaparkan hasil survei perkembangan demokrasi yang dilaksanakan pada 2013. Hasil survei yang dipublikasikan dalam buku Reclaiming The State Mengatasi Problem Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto menunjukkan, demokrasi Indonesia mengalami kemandekan.

Memang benar, negeri ini berhasil mengadopsi sejumlah institusi demokrasi (tata aturan dan regulasi), aktor-aktor prodemokrasi dan klientalisme yang tidak lagi menjadi satu-satunya aturan main dalam politik. Ada peluang untuk melakukan perubahan kelembagaan dan struktural yang mendukung kebebasan politik dan ekonomi.

Namun, survei itu juga menunjukkan bahwa lembaga-lembaga demokrasi masih sangat lemah. Aktor-aktor dominan dan alternatif mendukung lembaga-lembaga demokrasi, tetapi hanya sepanjang tata aturan dan regulasi itu relevan dengan posisi dan kepentingan mereka.

Menurut Willy, isu kesejahteraan saat ini memang menjadi "jualan" yang sangat laku dalam demokrasi elektoral. Isu ini banyak dimanfaatkan oleh para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk semata-mata menang dalam pilkada. Banyak calon yang akhirnya mengampanyekan isu pendidikan dan kesehatan gratis.

Sementara itu, Hasrul Hanif yang juga pengajar FISIP UGM dalam kesempatan sama mengatakan, demokrasi Indonesia pasca Soeharto melahirkan tokoh-tokoh daerah yang populis dan sekadar mengikuti isu apa yang ramai di masyarakat.

"Harus dibangun ruang dialog publik dengan negara. Saat ini, kita masih bergantung pada benevolent leader (pemimpin yang budiman) yang bertindak reaktif pada masalah sesaat, tetapi tidak menyelesaikan persoalan secara keseluruhan," kata Hasrul. (ONG)

Diterbitkan di Harian kompas 2 Juni 2016

KOMPAS/HERU SRI KUMORO