Peneliti Utama: Prof. Signe Howell, Prof. Desmond Mc Neill
Kajian Power, Welfare and Democracy (PWD) juga terbuka untuk dikembangkan dalam kerangka kerja antropologis terkait kebermaknaan ekosistem sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia. Lebih jauh, kondisi fisik, pola-pola adaptasi, organisasi sosial dan sistem ideologi manusia telah terbukti sebagai obyek yang dinamis dalam permainan kekuasaan. Antropologi memungkinkan pemahaman akan proses-proses dalam perkembangan kekuatan (power) dan bagaimana bekerjanya dalam manajemen lingkungan, kepentingan publik dan relasi kuasa menuju realisasi kesejahteraan dan demokrasi dalam masyarakat. Perspektif antropologi dalam mengkaji kuasa (power), kesejahteraan, dan demokrasi di Indonesia akan membantu kita memahami beragam proses dan bentuk PWD dalam relasinya dengan tingkat keragaman yang tinggi dari kondisi geografi, jenis-jenis sumber daya, dan fakta bahwa kehidupan kaum mayoritas di dalam negeri masih tergantung pada sektor-sektor primer seperti agrikultur, kehutanan, hortikultur, peternakan hewan dan pertambangan. Dalam korelasinya dengan hal itu, hasil-hasil kajian awal antropologi ekologi di Indonesia menawarkan sebuah referensi untuk meriviu dinamika PWD, terkait dengan perubahan ekologis belakangan ini. Telah ditemukan banyak kajian yang menguji perubahan-perubahan ekologis dan dampaknya pada struktur sosial-ekonomi masyarakat, namun kajian-kajian tersebut belum mengungkapkan hubungan antara dinamika ekologi dengan isu-isu politik dan demokrasi.
Perubahan iklim telah menarik perhatian masyarakat internasional sehubungan penurunan kapasitas hutan dalam mengurangi emisi karbon sebagai akibat dari penebangan hutan dan degradasi hutan. Keprihatinan ini melahirkan Program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) oleh lembaga-lembaga dan pemerintahan internasional di belahan bumi utara. REDD adalah salah satu program yang memberikan insentif finansial pada komunitas-komunitas di belahan bumi selatan untuk mencegah mereka mengeksploitasi sumber daya alam di hutan-hutan lokal. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sampai 26% di tahun 2020 menegaskan kepatuhan Pemerintah Indonesia pada Program REDD. Pada saat yang sama, Pemerintah Norwegia, sebagai salah satu mitra strategis Pemerintah Indonesia dalam isu tersebut, telah menguatkan komitmennya untuk memberikan bantuan finansial pada Pemerintah Indonesia agar berkontribusi pada implementasi Program REDD di Indonesia secara bertahap.
Tidak selarasnya pengetahuan dengan implementasi tetap terjadi antara program yang dirancang secara internasional dengan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. James Scott (1998) dan Tania Li (2007) menunjukkan bagaimana sejumlah program besar untuk perbaikan kehidupan manusia telah berakhir dengan kegagalan akibat ketidaksesuaian dengan detil dan variasi masyarakat yang menjadi target. Permasalahan bagi Program REDD, yang secara praktis membawa program dan dana dari pusat-pusat ekonomi dunia ke komunitas-komunitas lokal, dengan demikian tidak melulu tentang bagaimana mentransfer pesan dan uang pada orang-orang yang sesungguhnya pantas mendapatkannya. Yang juga penting adalah apa yang terjadi pada orang-orang lokal ketika program diimplementasikan. Beberapa kajian menemukan bahwa peningkatan kesejahteraan cenderung diikuti oleh meningkatnya potensi konflik dan perpecahan sosial, juga menurunnya representasi komunitas yang memiliki hak istimewa lebih rendah di tingkat lokal. Pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia telah menjadi perhatian besar para antropolog dan fokus beberapa sub-disiplin seperti ekologi kebudayaan (Steward 1938; Harris 1977) dan antroplogi ekologi (Netting 1986; Moran 2006). Dalam pendekatan-pendekatan tersebut, yang akan digunakan dalam Sub-Proyek B, pekerjaan manusia dinilai sebagai strategi adaptasi dalam sebuah ekosistem yang melingkupi hewan, tumbuhan dan manusia.
Beberapa faktor diperlukan untuk keberhasilan implementasi program. Salah satunya adalah pengetahuan berbasis empiris mengenai (1) variasi variabel yang tidak diikutsertakan atau tidak diajukan dalam Program sebagai asumsi, dan (2) hal-hal sejauh yang diukur dalam implementasi Program yang berlawanan dengan realitas ragam komunitas yang ditargetkan. Sejauh ini Program REDD masih kekurangan informasi di poin-poin yang vital. Sejauh mana relasi kuasa antara lembaga pemerintah dan LSM sebagai pemangku mandat memonitor implementasi Program di tingkat lokal? Apakah ada perbedaan dalam ekonomi politik dan kebudayaan politik antara pemerintah dan LSM? Bagaimana relasi kuasa dan struktur sosial-ekonomi di tingkat lokal berkontribusi pada produksi pengetahuan tentang hutan yang sesuai dengan landasan program REDD? Bagaimana masyarakat lokal, lembaga-lembaga pemerintahan dan LSM berkolaborasi di dalam implementasi Program REDD?
Untuk upaya menambah cakupan dan kedalaman kajian aktual kerja lapangan di situs-situs proyek UN-REDD di Indonesia, telah dibangun hubungan kolaboratif antara Departeman Antropologi Kebudayaan UGM di Yogyakarta dan Departemen Antropologi Sosial UiO di Norwegia. Dua maksud yang diemban: