Merebut Negara dari Cengkeraman Plutokrasi
Amalinda Savirani & Olle Törnquist [eds.] (2015), Reclaiming the State, Overcoming Problems of Democracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogyakarta: PolGov, PCD), xvi + 231 pp.
Asumsi yang mendasari buku ini adalah bahwa demokratisasi Indonesia pada kenyataannya hanyalah sebuah proses panjang liberalisasi politik (hlm. ix). Sebagai proyek anti-otoritarianisme, dulu gerakan-gerakan demokratisasi punya tujuan tunggal, yakni menumbangkan rezim korup dan otoriter Orde Baru di bawah penguasa-nyaris-mutlak Soeharto.
Setelah Soeharto jatuh, proyek demokratisasi berhasil membangun demokrasi elektoral dalam format negara liberal. Tapi rezim pasca Orde Baru mengalami dua kali pembajakan. Pertama oleh kalangan oposisi elitis yang kompromis – kaum elite yang kemudian membangun partai-partai untuk meraih kekuasaan mereka sendiri. Pembajakan elite ini menyebabkan kondisi untuk transisi ideal tidak pernah muncul.
Tidak pernah terjadi situasi "ruptura pactada" seperti di Amerika Latin di mana elemen-elemen rezim lama benar-benar sirna karena berkuasanya kelompok oposisi radikal. Yang terjadi adalah skenario “reforma pactada” seperti yang berlangsung di Eropa Selatan pada 1970an di mana kelompok-kelompok reformis moderat (hlm. 1) bersekutu dengan beberapa kalangan elite rezim lama. Hasilnya, lahirlah semacam rezim bablasan Orde Baru, untuk meminjam istilah Mochtar Pabottingi.
Sebagai rezim "bablasan," tak mengherankan jika pilar-pilar lamanya tetap dipertahankan. Golkar misalnya – beserta para brandalan-politik dan para bandit-ekonominya tetap malang melintang. Jenderal-jenderal lama, yang dulu menjadi para penjahat HAM, dengan leluasa melakukan reposisi – misalnya dengan menjadi centeng-centeng korporasi, menjadi penguasa-penguasa lokal, bikin partai-partai baru, bahkan salah satunya malah jadi Presiden selama 10 tahun, walau sambil nyambi jadi biduan.
Selama dua periode di bawah jenderal-biduan itulah terjadi pembajakan kedua. Pembajakan kedua dilakukan kalangan oligark-bisnis, lama maupun baru. Para oligark menyusup ke partai-partai, membelinya, menguasainya, atau mendirikan yang baru. Jika di masa lalu mereka membeli perlindungan kekuasaan, sekarang mereka menguasai instrumen kekuasaan secara langsung, melalui partai-partai kartel – untuk menguasai negara. Oligarki ekonomi dan politik muncul menguasai seluruh lembaga dan mekanisme politik demokrasi. Hee Yeon Cho (2014) menyebut rezim yang mereka bangun sebagai oligarki-demokratik, sedangkan Jeffrey Winters (2012) memiliki istilah yang lebih persis dengan menyebutnya oligarki-elektoral.
Pembajakan kedua oleh oligarki telah membuat demokrasi elektoral sepenuhnya berubah fungsi menjadi instrumen untuk meraih, membangun, dan menegakkan plutokrasi – kekuasaan yang dikendalikan oleh sangat sedikit elite yang mendominasi sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Buku ini membeberkan data bahwa sebanyak dua pertiga oligark berasal dari kalangan elite baru (hlm. 62-65). Karena sebagian besar mereka punya latar belakang dalam dunia bisnis, maka mereka muncul menjadi aktor-aktor dominan yang melanggengkan koneksi bisnis dan politik (hlm. 69), demi memonopoli kekuasaan. Dalam dinamika oligarki, negara hanya jadi arena tertutup bagi berlangsungnya pertarungan para oligark-plutokratik itu.
Dengan data itu buku ini mengajak kita untuk meyakini bahwa di Indonesia pasca-Reformasi, demokrasi mengalami transmutasi menjadi plutokrasi; atau setidaknya demokrasi menyediakan fungsi plutokratik bagi kekuasaan aktual para oligark yang menguasai negara. Di situlah demokrasi kehilangan basis politiknya. Di situ pulalah partai-partai menjauhkan diri dari basis sosialnya. Demokrasi akhirnya menjadi sekadar instrumen bagi berlangsungnya tiga praktek negara plutokratik: informalisasi, depolitisasi, dan marginalisasi.
Buku ini menawarkan resep simpel untuk membebaskan negara dari cengkeraman plutokrasi, yakni dengan merebutnya kembali. Tema “merebut kembali negara” yang diargumenkan buku ini memiliki tiga signifikansi krusial (hlm. 3).
Pertama, dengan merebutnya kembali dari monopoli oligarki, maka negara akan mempunyai peranan besar untuk mempromosikan demokratisasi yang lebih substantif, antara lain dengan agenda mereaktivasi subjek politik kewarganegaraan demi memajukan hak-hak ekonomi dan sosial. Kedua, dengan membebaskan negara dari cengkeraman kepentingan-kepentingan privat oligarki, pemajuan sistem negara-kesejahteraan dianggap lebih niscaya diselenggarakan. Dan ketiga, dengan dua agenda nasional itu, upaya-upaya untuk menghidupkan kembali rezim-rezim demokratik di tingkat lokal juga menjadi lebih dimungkinkan.
Tiga agenda itu pulalah yang peluang-peluang dan hambatan-hambatannya dielaborasi menjadi topik-topik riset yang dilaporkan buku ini. ***
AE Priyono
Associate researcher pada jurnal Prisma
Diterbitkan pertama kali di Majalah Tempo 30 Mei 2016