Kabinet yang cerdas akan memastikan kemungkinan penyelenggaraannya oleh pemerintah di tengah-tengah kompleksitas negeri. Dalam sistem presidensial kita, presiden diserahkan tugas dengan menyadari visinya selama periodenya dalam lima tahun. Oleh karena itu, kabinet presiden hanyalah sebuah instrumen untuk pemenuhan janji-janjinya.
Pemikiran mengenai Kabinet cerdas telah menjadi penting lebih dari sebelumnya ketika paradigma tata kelola pemerintahan di sini telah bergeser dari pengendalian (controlling) ke pengarahan (steering). Susunan institusinya telah menjadi sangat terdesentralisir.
Kemampuan pemerintah pusat untuk mengkonsolidasi berbagai aktor-aktor politik di Indonesia lebih mengandalkan pada kemampuan untuk menginspirasi dan memfasilitasi daerah untuk mengejar kepentingan mereka melalui kerjasama yang timbal-balik.
Dalam permainan kekuasaan yang sedemikian rupa halus, di mana komando dan otoritas telah menjadi kurang relevan, pengetahuan memainkan peran yang jauh lebih besar.
Pemilihan presiden yang baru lalu memperlihatkan mobilisasi pengetahuan publik yang luar biasa, yaitu ketika pengetahuan publik yang terkelola baik berubah menjadi kekuatan politik yang dahsyat. Sayangnya, diskursus mengenai pembentukan Kabinet berikutnya belum menyentuh pada bagaimana menggunakan pengetahuan publik untuk merealisasikan visi presiden yang akan datang.
Di dalam diskursus publik mengenai Kabinet, para profesional dipersepsikan tidak berpihak, lebih berkomitmen pada kinerja politik daripada kepentingan politik, berlawanan dengan bayangan tentang para aktivis partai politik. Pandangan ini lebih cenderung pada Kabinet ramping; menganggap bahwa kabinet gemuk mengabaikan isu-isu utama tentang memastikan efektivitas penyampaian kebijakan pemerintah.
Nada liberal dari diskursus ini sejalan dengan premis birokratisasi dan liberalisasi yang lebih menyukai peran minim Negara yang berasosiasi dengan Kabinet besar dengan pemikiran tentang ketidakcakapan, korupsi dan lain sebagainya.
Sebenarnya, peran minim Negara bukanlah yang diharapkan oleh publik Indonesia; sebagaimana yang diungkapkan dalam survei kolaboratif terbaru yang dipimpin oleh Universitas Gadjah Mada dengan judul Power, Welfare and Democracy, yang dilansir awal tahun ini.
Tentu saja, publik menolak aturan otoriter, namun publik juga masih memegang harapan lama tentang peran besar pemerintah dalam menyediakan dan menjamin layanan publik. Sebuah Kabinet yang besar dinilai terlalu mahal. Dalam Kabinet yang cerdas, isu utamanya bukanlah jumlah jabatan, melainkan kemampuan membuat dan menyampaikan skema kebijakan dan pemerintahan dengan efektif.
Belajar dari era Soeharto, kebijakan berjangka waktu panjang sangatlah penting, dan dengan demikian susunan Kabinet berikutnya harus diperlakukan sebagai investasi bagi pemerintah ke depan.
[ Publikasi awal di: The Jakarta Post ]