Satu wawancara dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahja Purnama dengan The Jakarta Post bulan lalu diberi tajuk “Ahok: I am the new Godfather”.
Pernyataan tersebut dilontarkan berdasarkan responsnya mengenai pedagang kaki lima di ibu kota, yang akan dia ijinkan beroperasi di trotoar dan di taman-taman selama mereka mengikuti aturan yang nantinya dikeluarkan.
Gagasan ini akan melanggar peraturan-peraturan yang sudah ada, di mana pedagang kaki lima tidak diijinkan beroperasi di pinggir jalan.
Pernyataan Ahok membawa kita pada pembahasan mengenai sifat kepemimpinan dalam membangun Jakarta.
Wawancara tersebut memberi kesan bahwa Ahok ingin kita mempercayai bahwa dia adalah pemimpin yang kuat dan bahwa dia akan menggunakan kekuatannya dan cara-cara lainnya untuk mengeluarkan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dia inginkan, termasuk yang berkaitan dengan pedagang kaki lima. Tipe kepemimpinan dia terkesan “one-man show”. Tapi dia tidak khusus dalam hal ini.
Hasil survei dari riset kolaborasi antara Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Oslo di bawah proyek “Power, Welfare and Democracy” yang dipublikasikan awal tahun ini, mengindikasikan trend “politik figur” yang makin marak sebagai gaya kepemimpinan di Indonesia di tahun-tahun belakangan dan nampaknya akan terus bertahan di tahun-tahun mendatang.
Politik figur mengacu pada munculnya individu-individu yang menjabat di kantor publik tingkat lokal (gubernur, walikota dan bupati) dengan karakteristik sebagai berikut: a) hubungan yang minim ke partai-partai lokal dan gerakan akar rumput, b) hubungan yang maksimal ke basis pendukung yang longgar dan ad-hoc, dan c) penggunaan yang minim dukungan yang ada dari para pimpinan dan sistem birokrasi lokal untuk mengimplementasikan kebijakan ketika mereka terpilih.
Tokoh-tokoh seperti gubernur Jakarta dan Presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo, Ahok sendiri, Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Walikota Bandung Mayor Ridwan Kamil muncul di panggung publik dengan ketiga fitur tersebut.
Politik figur muncul ke permukaan karena stagnasi institusi politik, biasanya partai-partai politik, dan tidak kompetennya para pimpinan.
Partai-partai gagal menjalankan fungsi mereka dalam merawat para anggota menduduki jabatan publik.
Mereka juga didominasi oleh lingkaran kecil elit atau oligarki. Ini yang membuat partai-partai sulit menerima individu dan ide baru.
Ketika pemimpin-pemimpin ini meraih jabatan publik, mereka harus berhadapan dengan birokrasi internal. Reformasi birokrasi seringkali stagnan: begitu besar kesulitan untuk membuat para pemimpin dan aparat birokratis bekerja dengan efisien dan efektif untuk menyusul kecepatan para pemimpin lokal yang baru.
Kebanyakan para pemimpin tersebut punya visi baru yang menuntut strategi baru untuk implementasinya.
Ahok dikenal sebagai orang yang sangat tegas dan tanpa tedeng aling-aling bila berurusan dengan kompetensi para pimpinan Jakarta. Meeting-meeting stafnya, di mana dia memarahi para staf, tersedia dan bisa ditonton dengan bebas di YouTube.
Di sisi lain, pergerakan sosial yang dapat menjadi arena untuk merawat para pemimpin telah menjadi begitu terfragmentasi. Sebagai hasilnya, gerakan sosial secara umum sulit mempromosikan orang alternatif untuk menempati posisi publik.
Oleh karena itu, kemunculan politik figur adalah sebuah konsekuensi logis dari pengaturan institusi demokrasi yang lemah, termasuk partai-partai politik dan gerakan akar rumput, karena reformasi dan kesulitan mendorong kebijakan-kebijakan selain dari yang rutin dalam sistem pemerintahan.
Ada sisi baik dan buruk dalam politik figur atau individual. Tipe kepemimpinan ini dapat mempercepat pembuatan kebijakan karena para pemimpin berhasrat untuk menggunting pita merah.
Mereka juga mampu mendesak para administrator untuk mempercepat kerjanya dan melakukan terapi kejut kepada mereka yang sangat butuh perubahan perilaku.
Tapi bagaimanapun, tipe kemimpinan ini dapat pula membahayakan keberlangsungan program, sebagaimana juga untuk dukungan popular.
Posisi jabatan publik adalah posisi politis, dengan periode tertentu di antara pemilihan langsung.
Sebuah kebijakan untuk pedagang kaki lima di Jakarta, misalnya, mempengaruhi khususnya kaum miskin kota selama puluhan tahun. Hal ini berarti gubernur akan butuh memastikan bahwa programnya akan mungkin bertahan lama, kalau bisa melampaui masa jabatannya.
Untuk melakukannya, dukungan dari para pimpinan lokal akan dibutuhkan untuk memastikan keseluruhan penyelenggaraan bekerja bersamaan untuk merealisasikan kebijakan tersebut.
Tanpa itu, program bisa dengan mudah dibajak dengan berbagai cara – biasanya yang bersifat teknis seperti penundaan, mengabaikan surat-surat yang harus dicap dan dikirim.
Di sini kita bisa belajar dari James Scott, seorang akademisi yang mempelajari kaum tani, mengenai senjata kaum lemah, yang menyatakan bahwa mereka yang paling lemah, termasuk kota-kota mandarin termiskin bisa melakukan perlawanan dengan cara bersahaja mereka.
Efisiensi kebijakan bisa jadi berbahaya karena cenderung meniadakan rakyat, dalam konteks ini kaum miskin kota, dari pembuatan kebijakan. Upaya untuk menyertakan partisipasi publik hanya fokus pada mendengarkan suara rakyat, namun tidak menjamin inklusi mereka dalam isi kebijakan.
Partisipasi sebagai teknik pelibatan rakyat menjamin proses, bukan hasil. Ini karena partisipasi dalam pembuatan kebijakan membutuhkan waktu dan dengan demikian tidak efisien.
Yang paling penting dalam kepemimpinan berbasis figur adalah bagaimana pemimpin dapat memastikan keberlangsungan kebijakan-kebijakan mereka, dan bukannya mempercepat proses kebijakan yang hanya nantinya kebijakan dan program mereka berakhir di saat mereka tidak lagi menjabat.
[ Publikasi awal di: The Jakarta Post ]