Sedangkan bagi para ekonom politik yang radikal yang berpendapat bahwa institusi sepeti itu berada di bawah sumber daya material, Indonesia diatur oleh para oligarki dan terapi kejut dibutuhkan. Bagaimanakah tampilan analisa yang lebih bernuansa nantinya?
Saat ini, hasil-hasil yang bermunculan dapat dilihat dari asesmen komprehensif ketiga tentang demokratisasi Indonesia. Kajian sebelumnya (2003/2004, 2007) dilaksanakan oleh Demos (LSM riset), bersama dengan Universitas Oslo (UiO). Survei terkini berada dalam kajian lebih luas berjudul “Power, Welfare and Democracy” di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang didukung oleh UiO.
Pertanyaannya masih sama: Sejauh apa institusi dan aktor benar-benar berkontribusi pada perkembangan demokrasi dalam artian kendali publik terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesataraan politik; dan apa sajakah masalah dan peluangnya?
Metode ini juga direplikasi: mengumpulkan informasi secara sistematis dengan wawancara mendalam (masing-masing 6-8 jam) para pakar terbaik di lapangan di antara lebih dari 600 akademisi yang berkomitmen dan aktivis berpengalaman di seantero negeri dan juga di Jakarta.
Apa yang ditemukan dari hasil-hasil awal? Terdapat tiga kata kunci: stagnasi, pembukaan-pembukaan (openings) dan kegemparan (excitement).
Stagnasi, paling jelas terlihat dari langgengnya korupsi, buruknya aturan main (rule of law) and ketidaksetaraan politik. Ini adalah hasil yang ironis dari kombinasi yang mengesankan antara stabilitas dalam sistem politik yang koheren dan pemilihan yang meluas, kebebasan dan organisasi warga negara. Para aktor yang berkuasa bukan saja tidak menyesuaikan diri dengan aturan main yang baru, namun mereka juga menetapkan rincian dari aturan-aturan tersebut menurut kemauan mereka sendiri, seperti misalnya dengan mempersulit partai-partai baru untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Dengan cara yang sama, mereka menahan kapasitas politik mereka sendiri untuk mendominasi permainan seperti layaknya sebuah tim sepakbola yang kaya cenderung menang melawan tim yang miskin meskipun mereka berada di bawah aturan yang sama.
Media bicara panjang lebar tentang korupsi dan tentang badan-badan yang memerangi korupsi, namun masalah dasarnya adalah lemahnya representasi untuk mereka yang betul-betul menentang penyalahgunaan kekuasaan dan yang bisa membawa perubahan.
Indonesia tidak memungkinkan rakyat untuk membentuk partai kecil anti-korupsi yang pro-demokrasi dengan basis pergerakan sosial dan untuk berpartisipasi dan memenangkan pemilihan, seperti yang belakangan terjadi di New Delhi.
Kemenangan seperti itu tentunya tidak cukup, karena butuh lebih dari satu partai yang tidak puas untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan alternatif. Tapi di Indonesia, para aktivis masyarakat sipil yang terserak dan pemimpin-pemimpin informal lainnya selama ini hanya mampu “berpolitik” secara individual dengan undangan dari partai-partai elit yang dominan, bahkan tanpa koordinasi melalui pergerakan sosial yang luas dan organisasi kepentingan.
[ Publikasi awal di: The Jakarta Post ]